Problematika Rasisme dalam Film ‘The Green Book’

Film yang gue tonton terakhir berjudul The Green Book. Film tahun 2018 ini memenangi 3 penghargaan Oscar diantaranya best motion picture, original screenplay, dan supporting role actor. Film berdurasi 2 jam lebih ini menyuguhkan cerita based on true story seorang pianis berbakat kulit hitam bernama Don Shirley (Mahershala Ali) yang mempekerjakan Tony Lip (Viggo Mortensen) seorang imigran Italia sebagai asisten sopir pribadi untuk tur acara musik trio dengan dua rekan lain dengan mengelilingi antar kota di Amerika.

Ga heran film ini menyabet penghargaan Oscar di tahun itu, film arahan sutradara terkemuka Peter Farrelly ini bertema drama namun pace cerita dari screenplay/penulisan skenario yang mengalir apik dan tidak membosankan karena didirect dengan baik dan kedua aktor memerankan dengan baik serta unsur komedi dari setiap kota yang dikunjungi keduanya.

Cerita film ini mengingatkan gue mengenai satu film asal Prancis yang pernah gue tonton dulu, judulnya Intouchables. Jalan cerita tentang ‘friendship’ yang sama2 berfokus antara kedua sosok yang sebenernya bertolak belakang namun dalam membangun cerita dari keduanya yang saling melengkapi merupakan hal yang sangat menarik.

source: Pinterest

Perbedaan antara The Green Book dengan Intouchables adalah karakter yang berbeda dimana Don Shirley yang tenang dan sopan dengan Tony Lip yang spontan, bermulut besar, urakan banyak bicara yang sekilas pembawaannya sedikit mirip Al Pacino di film Scarface dan Godfather. Dan kebalikannya di film Intouchables asistennya adalah seorang kulit hitam dan majikannya seorang kulit putih dengan karakter yang berkebalikan dengan The Green Book.

Sebelum perjalanan mereka menelusuri bebrapa kota, mereka membawa suatu buku panduan (guidebook) yang disebut the green book yang memuat hotel dan tempat lain yang aman dan diperuntukkan untuk orang kulit hitam. Buku yang menerangkan panduan yang dengan jelas membeda-bedakan orang asli Amerika dengan orang Afrika-Amerika. Dan, disetiap kota yang dikunjungi tidak luput dari berbagai insiden, seperti bagaimana Don Shirley diberi ruang tamu seperti ‘gudang’, memakai toilet diluar hotel, dan larangan orang kulit hitam untuk hanya sekedar makan di restoran hotel yang mana Don Shirley ironisnya adalah bintang utama acara tersebut. Ambil salah satu kejadian saat sebelum acara, dia disambut dan dihormati, tetapi saat selesai acara dan ingin menggunakan toilet, dia tidak diperbolehkan memakai toilet hotel. Tanpa apresiasi justru seolah-olah ia ‘dimanfaatkan’ untuk menampilkan hiburanmusik untuk para tamu, dan setelahnya dibuang seperti ‘garbage’.

Cerita dalam film ini berkisar tahun 60an, dan masa itu rasisme masih tetap ada dengan hukum dan batasan yang berbeda dengan film ’12 Years a Slave’ yang menceritakan mengenai rasisme dan perbudakan. Meskipun di tahun 60an tersebut tidak ada perbudakan dan kekerasan terhadap kulit hitam, namun pemikiran merendahkan dan sinis dari era sebelumnya tetap tertanam bagi sebagian orang ketika itu.

Hal lucu dimana seorang pianis bergelar doktor berbakat dengan setelan berkelas dan kepiawaian dalam memainkan piano, kemudian direndahkan hanya karena satu hal saja, warna kulit. Bukan hanya di era itu saja sekarang ini juga banyak kejadian rasisme yang mempermasalahkan warna kulit, contohnya dalam sepakbola. Penonton di stadion cukup sering dalam beberapa kasus ketika klub timnya kalah lalu kecewa dan memaki dengan kata-kata sumpah serapah atau melempar maaf, pisang.

Di Indonesia juga tidak luput dari kasus rasisme, seperti beberapa waktu lalu ketika mahasiswa Papua di Surabaya menjadi korban rasisme. Hanya karena warna kulit dan kultur budaya yang jauh berbeda dibanding daerah lain di Indonesia bukan berarti harus berbuat rasis atau mengucilkan beberapa orang yang termasuk dalam satu wilayah negara ini. Pemikiran rasis yang masih ada bagi sebagian orang buat gue adalah suatu hal yang menjengkelkan.

Omong kosong kebanggaan nasionalisme terhadap Indonesia yang berkoar-koar, tetapi tidak menghargai perbedaan meskipun itu satu negara. Fanatisme suku dan menjelek2an suku lainnya dengan kata2 hewan seperti b*bi m*nyet oleh segelintir orang, gue ga habis pikir dan buat gue adalah omong kosong, kalau memang seseorang memiliki pemikiran rasis memandang rendah hanya karena warna kulit dan kebudayaan yang sangat jauh berbeda. seharusnya mereka introspeksi diri. Mereka juga adalah manusia, dan menurut gue merujuk hal-hal diatas orang yang berkuit hitam memiliki kemampuan yang unik jauh2 lebih baik di beberapa bidang semisal sepakbola dan musik, dimana kebanyakan umumnya mereka memiliki fisik stamina kuat dan suara yang indah. Dan diliga sepakbola tanah air yang ga jelas ini, menurut gue salah satu tim yang emenonjol dan berprestasi dibanding tim kota lain adalah Persipura Jayapura yang berasal dari Papua.

Seseorang mengucapkan “Gue bangga menjadi orang atau suku ini”, tapi kalau mengucapkan hal tersebut dengan pemikiran bahwa beberapa orang dan suku yang berbeda lebih rendah dengan perasaan sentimentil dan antipati, itu semua omong kosong belaka. Overproud dan fanatisme buat gue adalah suatu hal yang tidak mendasar. Orang yang memiliki sudut pandang yang membeda-bedakan orang yang menurut mereka ‘rendah’ seharusnya mengapresiasi dengan respek terhadap satu sama lain bahwa setiap manusia itu sama, atau mereka sendiri yang harus belajar untuk ‘dimanusiakan’.

source: Pinterest

You never win with violence. You only win when you maintain your dignity.’ – Don Shirley (Green Book)

‘It takes courage to change people’s hearts.’ – Oleg (Green Book)

Tinggalkan komentar